Sejarah Dan Perkembangan Haki Indonesia
Hak Kekayaan Intelektual
Sejarah Dan Perkembangan HKI Indonesia
Dosen :
Dr. Agus Sardjono S.H., M.H.
Oleh
JJ. Amstrong Sembiring
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
2006
A. Pendahuluan
Selama ini berbagai usaha untuk menyosialisasikan penghargaan atas Hak
atas Kekayaaan Intelektual (HaKI) telah dilakukan secara bersama-sama
oleh aparat pemerintah terkait beserta lembaga-lembaga pendidikan dan
lembaga swadaya masyarakat. Akan tetapi sejauh ini upaya sosialisasi
tersebut tampaknya belum cukup berhasil.
Ada beberapa alasan yang
mendasarinya. Pertama, konsep dan perlunya HaKI belum dipahami secara
benar di kalangan masyarakat. Kedua, kurang optimalnya upaya penegakan,
baik oleh pemilik HaKI itu sendiri maupun aparat penegak hukum. Ketiga,
tidak adanya kesamaan pandangan dan pengertian mengenai pentingnya
perlindungan dan penegakan HaKI di kalangan pemilik HaKI dan aparat
penegak hukum, baik itu aparat Kepolisian, Kejaksaan maupun hakim.
Dalam praktik pergaulan internasional, HaKI telah menjadi salah satu isu
penting yang selalu diperhatikan oleh kalangan negara-negara maju di
dalam melakukan hubungan perdagangan dan/ atau hubungan ekonomi lainnya.
Khusus dalam kaitannya dengan dengan Amerika Serikat misalnya, hingga
saat ini status Indonesia masih tetap sebagai negara dengan status
'Priority Watch List' (PWL) sehingga memperlemah negosiasi.
Globalisasi yang sangat identik dengan free market, free competition dan
transparansi memberikan dampak yang cukup besar terhadap perlindungan
HaKI di Indonesia. Situasi seperti ini pun memberikan tantangan kepada
Indonesia, di mana Indonesia diharuskan untuk dapat memberikan
perlindungan yang memadai atas HaKI sehingga terciptanya persaingan yang
sehat yang tentu saja dapat memberikan kepercayaan kepada investor
untuk berinvestasi di Indonesia.
Lebih dari itu, meningkatnya
kegiatan investasi yang sedikit banyak melibatkan proses transfer
teknologi yang dilindungi HaKI-nya akan terlaksana dengan baik, apabila
terdapat perlindungan yang memadai atas HaKI itu sendiri di Indonesia.
Mengingat hal-hal tersebut, tanpa usaha sosialisasi di berbagai lapisan
masyarakat, kesadaran akan keberhargaan HaKI tidak akan tercipta.
Sosialisasi HaKI harus dilakukan pada semua kalangan terkait, seperti
aparat penegak hukum, pelajar, masyarakat pemakai, para pencipta dan
yang tak kalah pentingnya adalah kalangan pers karena dengan kekuatan
tinta kalangan jurnalis upaya kesadaran akan pentingnya HAKI akan
relatif lebih mudah terwujud.
Upaya sosialisasi perlu dilakukan oleh
semua stakeholder secara sistematis, terarah dan berkelanjutan. Selain
itu target audience dari kegiatan sosialisasi tersebut harus dengan
jelas teridentifikasi dalam setiap bentuk sosialisasi, seperti diskusi
ilmiah untuk kalangan akademisi, perbandingan sistem hukum dan
pelaksanaannya bagi aparat dan praktisi hukum, dan lain-lain.
HaKI
adalah instrumen hukum yang memberikan perlindungan hak pada seorang
atas segala hasil kreativitas dan perwujudan karya intelektual dan
memberikan hak kepada pemilik hak untuk menikmati keuntungan ekonomi
dari kepemilikan hak tersebut. Hasil karya intelektual tersebut dalam
praktek dapat berwujud ciptaan di bidang seni dan sastra, merek,
penemuan di bidang teknologi tertentu dan sebagainya.
Melalui
perlindungan HaKI pula, para pemilik hak berhak untuk menggunakan,
memperbanyak, mengumumkan, memberikan izin kepada pihak lain untuk
memanfaatkan haknya tersebut melalui lisensi atau pengalihan dan
termasuk untuk melarang pihak lain untuk menggunakan, memperbanyak
dan/atau mengumumkan hasil karya intelektualnya tersebut.
Dengan
kata lain, HaKI memberikan hak monopoli kepada pemilik hak dengan tetap
menjunjung tinggi pembatasan-pembatasan yang mungkin diberlakukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak cipta
memberikan perlindungan terhadap karya musik, karya sastra, drama dan
karya artistik, termasuk juga rekaman suara, penyiaran suara film dan
pertelevisian program komputer. Di samping hak cipta, ada pula hak atas
merek yang pada dasarnya memberikan perlindungan atas tanda-tanda
(berupa huruf, angka, dan sebagainya) yang digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang atau jasa.
Desain industri adalah suatu kreasi
tentang bentuk, konfigurasi atau komposisi garis atau warna, atau garis
dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga demensi yang
memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi
atau dua dimensi.
Selain itu juga dapat dipakai untuk menghasilkan
suatu produk, barang, komoditas industri atau kerajinan tangan. Untuk
suatu invensi baru di bidang teknologi, perlindungan paten dapat
diberikan.
Selain hak-hak itu, perlindungan diberikan pada
unsur-unsur lain dalam HaKI, seperti desain tata letak sirkuit terpadu,
rahasia dagang dan varietas tanaman baru, untuk mencegah pihak lain
memanfatkan dengan tujuan komersial tanpa izin sah dari pemegang hak.
Dari kesemua hak yang disebutkan di atas, hampir semuanya memerlukan
pendaftaran dari si pemilik hak agar dapat memperoleh perlindungan.
Berdasarkan praktik, belum begitu memasyarakatnya HaKI menyebabkan
perlindungan yang diberikan pemerintah belum optimal. Untuk itu pemilik
hak perlu melakukan langkah-langkah non-legal untuk menegaskan
kepemilikan haknya, dan juga menegaskan kepada pihak-pihak lain bahwa
mereka akan mengambil tindakan yang tegas terhadap segala upaya
penggunaan atau pemanfaatan secara tidak sah atas haknya tersebut.
Dalam sebuah seminar HaKI berapa waktu lalu, menegaskan bahwa upaya
perlindungan HaKI di Indonesia tidak cukup dengan menyerahkan
perlindungan kepada aparat atau sistem hukum yang ada, tetapi perlu
langkah-langkah non-legal. Langkah itu di antaranya adalah pemberian
informasi mengenai kepemilikan HaKI oleh pemilik hak, survei lapangan,
peringatan kepada pelanggar, dan sebagainya.
Harus kita akui, sampai
sekarang keberadaan produk-produk yang melanggar HaKI, khususnya merek
dan hak cipta dengan sangat mudah bisa kita dapatkan. Mulai di tempat
perbelanjaan kelas bawah hingga mal dan pusat perbelanjaan mewah.
Contohnya produk software, musik dan film VCD atau DVD.
Bahkan
baru-baru ini di media massa ditemukannya pelanggaran atas merek
terhadap produk suku cadang Daihatsu. Beruntung pemilik merek segera
melaporkan pemalsuan tersebut ke Kepolisian sehingga ada pelanggar yang
bisa diadili di Pengadilan Negari Jakarta Barat dan beberapa kali muncul
permohonan maaf dari para pelanggar yang menjual produk palsu tersebut.
Namun
apakah upaya pemilik hak atas merek Daihatsu itu mendapatkan respon
yang baik dari penegak hukum? Tentunya itulah harapan kita semua. Jika
tidak, upaya yang dilakukan pemegang merek akan sia-sia dan itu akan
menurunkan upaya penegakan hukum di negeri ini. Karena persoalan
tersebut menyangkut investasi dan sorotan dunia internasional dalam
menegakkan HaKI di Indonesia.
Pemerintahan baru dalam Kabinet
Indonesia Bersatu, hendaknya melihat upaya penegakan hukum sebagai
peristiwa yang penting untuk memulihkan citra Indonesia di mata dunia,
khususnya mata investor. Sangat diharapkan, pemerintahan baru dapat
melanjutkan komitmen dalam penegakan perlindungan HaKI.
Sebagaimana
dijanjikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kampanyenya
beberapa waktu lalu, masalah pembajakan yang tidak lepas dari HaKI akan
menjadi salah satu agenda untuk segera ditanggulangi, di samping sejuta
masalah lain yang tengah dihadapi oleh negeri tercinta ini.
Komitmen
aparat pemerintah dan kepolisian, yang merupakan salah satu elemen
kunci dalam penegakan HaKI di Indonesia sangat diharapkan
konsistensinya. Lembaga peradilan tentu saja tidak dapat dilepaskan dari
tanggung jawab atas suksesnya penegakan HaKI di Indonesia.
B. Dasar Filsafat Rezim HaKi
Dari
istilah Hak atas kekayaan intelektual, paling tidak ada 3 kata kunci
dari istilah tersebut yaitu :Hak, kekayaan dan intelektual. Hak adalah
benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (
karena telah ditentukan oleh undang-undang ), atau wewenang wewenang
menurut hukum.
Kekayaan adalalah prihal yang ( bersifat, ciri )
kaya, harta yang menjadi milik orang, kekuasaan Intelektual adalah
Cerdas, bera- kal dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan,
atau yang mempunyai kecerdasan tinggi, cendikiawan, atau totalitas pen
gertian
atau kesadaran terutama yang menyangkut pemikiran dan
pemahaman.Kekayaan intelektual adalah kekayaan yang timbul dari
kemampuan intelektualmanusia yang dapat berupa karya di bidang
teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Karya ini dihasilkan atas
kemampuan intelektual melaluipemikiran, daya cipta dan rasa yang
memerlukan curahan tenaga, waktu dan biaya untuk memperoleh "produk"
baru dengan landasan kegiatan penelitian atau yang sejenis.
Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau
harta intelek (di Malaysia) ini merupakan padanan dari bahasa Inggris
intellectual property right. Kata "intelektual" tercermin bahwa obyek
kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk
pemikiran manusia (the creations of the human mind) (WIPO,
1988:3).Secara substantif pengertian HaKI dapat dideskripsikan sebagai
hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual
manusia. Karya-karya intelektual tersebut dibidang ilmu pengetahuan,
seni, sastra ataupun teknologi, dilahi rkan dengan pengorbanan tenaga,
waktu dan bahkan biaya.
Adanya pengorbanan tersebut menjadikan
karya yang dihasilkan menjadi memiliki nilai. Apabila ditambah dengan
manfaat ekonomi yang dapat dinikmati, maka nilai ekonomi yang melekat
menumbuhkan konsepsi kekayaan (Property) terhadap karya-karya
intelektual. Bagi dunia usaha, karya-karya itu dikatakan sebagai assets
perusahaan.
B.1 Sejarah, latar belakang dan Landasan Haki
Kalau dilihat secara historis, undang-undang mengenai HaKI pertama kali
ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470.
Caxton, Galileo dan Guttenberg tercatat sebagai penemu-penemu yang
muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas
penemuan mereka.
Hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian
diadopsi oleh kerajaan Inggris di jaman TUDOR tahun 1500-an dan kemudian
lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu Statute of
Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten
tahun 1791. Upaya harmonisasi dalam bidang HaKI pertama kali terjadi
tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek
dagang dan desain. Kemudian Berne Convention 1886 untuk masalah
copyright atau hak cipta.
Tujuan dari konvensi-konvensi tersebut
antara lain standarisasi, pembahasan masalah baru, tukar menukar
informasi, perlindungan mimimum dan prosedur mendapatkan hak. Kedua
konvensi itu kemudian membentuk biro administratif bernama the United
International Bureau for the Protection of Intellectual Property yang
kemudian dikenal dengan nama World Intellectual Property Organisation
(WIPO). WIPO kemudian menjadi badan administratif khusus di bawah PBB
yang menangani masalah HaKI anggota PBB.
Sebagai tambahan pada tahun
2001 World Intellectual Property Organization (WIPO) telah menetapkan
tanggal 26 April sebagai Hari Hak Kekayaan Intelektual Sedunia. Setiap
tahun, negara-negara anggota WIPO termasuk Indonesia menyelenggarakan
beragam kegiatan dalam rangka memeriahkan Hari HKI Sedunia
Sejak
ditandatanganinya persetujuan umum tentang tariff dan perdagangan (GATT)
pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh-Maroko, Indonesia sebagai salah
satu negara yang telah sepakat untuk melaksanakan persetujuan tersebut
dengan seluruh lampirannya melalui Undang-undang No. 7 tahun 1994
tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Lampiran yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (HaKI)
adalah Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIP’s)
yang merupakan jaminan bagi keberhasilan diselenggarakannya hubungan
perdagangan antar Negara secara jujur dan adil, karena :
1. TRIP’s menitikberatkan kepada norma dan standard
2. Sifat persetujuan dalam TRIP’s adalah Full Complience atau ketaa
tan yang bersifat memaksa tanpa reservation
3. TRIP’s memuat ketentuan penegakan hukum yang sangat ketat de
ngan mekanisme penyelesaian sengketa diikuti dengan sanksi yang
bersifat retributif.
Tumbuhnya konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual pada akhirnya
juga menimbulkan untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut.
Pada gilirannya, kebutuhan ini melahirkan konsepsi perlindungan hukum
atas kekayaan tadi, termasuk pengakuan hak terhadapnya. Sesuai dengan
hakekatnya pula, HaKI dikelompokan sebagai hak milik perorangan yang
sifatnya tidak berwujud (Intangible).
Pengenalan HaKI sebagai hak
milik perorangan yang tidak berwujud dan penjabarannya secara lugas
dalam tatanan hukum positif terutama dalam kehidupan ekonomi merupakan
hal baru di Indonesia. Dari sudut pandang HaKI, aturan tersebut
diperlukan karena adanya sikap penghargaan, penghormatan dan
perlindungan tidak saja akan memberikan rasa aman, tetapi juga
mewujudkan iklim yang kondusif bagi peningkatan semangat atau gairah
untuk menghasilkan karya-karya inovatif,inventif dan produktif.
Jika
dilihat dari latar belakang historis mengenai HaKI terlihat bahwa di
negara barat (western) penghargaan atas kekayaan intelektual atau apapun
hasil olah pikir individu sudah sangat lama diterapkan dalam budaya
mereka yang kemudian ditejemahkan dalam perundang-undangan.
HaKI
bagi masyarakat barat bukanlah sekedar perangkat hukum yang digunakan
hanya untuk perlindungan terhadap hasil karya intelektual seseorang akan
tetapi dipakai sebagai alat strategi usaha dimana karena suatu penemuan
dikomersialkan atau kekayaan intelektual, memungkinkan pencipta atau
penemu tersebut dapat mengeksploitasi ciptaan/penemuannya secara
ekonomi. Hasil dari komersialisasi penemuan tersebut memungkinkan
pencipta karya intelektual untuk terus berkarya dan meningkatkan mutu
karyanya dan menjadi contoh bagi individu atau pihak lain, sehingga akan
timbul keinginan pihak lain untuk juga dapat berkarya dengan lebih baik
sehingga timbul kompetisi.Perkembangan Haki di Indonesia
Pada awal
tahun 1990, di Indonesia, HAKI itu tidak populer. Dia mulai populer
memasuki tahun 2000 sampai dengan sekarang. Tapi, ketika kepopulerannya
itu sudah sampai puncaknya, grafiknya akan turun. Ketika dia mau turun,
muncullah hukum siber, yang ternyata kepanjangan dari HAKI itu sendiri.
Jadi, dia akan terbawa terus seiring dengan ilmu-ilmu yang baru. Tapi
kalau yang namanya HAKI dan hukum siber itu prediksi saya akan terus
berkembang pesat, seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang
tidak pernah berhenti berinovasi.
Inilah kira-kira perubahan undang-undang perjalanan perundangn-undang HAKI
di
Indonesia sebagai berikut : UU No 6 Tahun 1982 -------> diperbaharui
menjadi UU No 7 Tahun 1987------ > UU No 12 Tahun 1992------>
Terakhir, UU tersebut diperbarui menjadi UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak
Kekayan Intelektual yang disahkan pada 29 Juli 2002 ternyata
diberlakukan untuk 12 bulan kemudian, yaitu 19 Juli 2003, inilah
kemudian menjadi landasan diberlakukannya UU HAKI di Indonesia.
Apakah pemberlakuan HAKI merupakan “kelemahan” Indonesia terhadap
Negara-negara maju yang berlindung di balik WTO ? Konsekuensi
HAKI/akibat diberlakukannya HAKI :
1. Pemegang hak dapat memberikan izin atau lisensi kepada pihak lain.
2. Pemegang hak dapat melakukan upaya hukum baik perdata maupun
pidana dengan masyarakat umum.
3. Adanya kepastian hukum yaitu pemegang dapat melakukan usahanya
dengan tenang tanpa gangguan dari pihak lain.
4.
pemberian hak monopoli kepada pencipta kekayaan intelektual
memungkinkan pencipta atau penemu tersebut dapat mengeksploitasi
ciptaan/penemuannya secara ekonomi. Hasil dari komersialisasi penemuan
tersebut memungkinkan pencipta karya intektual untuk terus berkarya dan
meningkatkan mutu karyanya dan menjadi contoh bagi individu atau pihak
lain, sehingga akan timbul keinginan pihak lain untuk juga dapat
berkarya dengan lebih baik sehingga timbul kompetisi.
Empat jenis utama dari HAKI adalah:
• Hak cipta (copyright)
• Paten (patent)
• Merk dagang (trademark)
• Rahasia dagang (trade secret)
Berikut adalah penjelasan mendetail mengenai empat jenis HAKI tersebut:
Hak Cipta (Copyright)
Hak cipta adalah hak dari pembuat sebuah ciptaan terhadap ciptaannya
dan salinannya. Pembuat sebuah ciptaan memiliki hak penuh terhadap
ciptaannya tersebut serta salinan dari ciptaannya tersebut. Hak-hak
tersebut misalnya adalah hak-hak untuk membuat salinan dari ciptaannya
tersebut, hak untuk membuat produk derivatif, dan hak-hak untuk
menyerahkan hak-hak tersebut ke pihak lain. Hak cipta berlaku seketika
setelah ciptaan tersebut dibuat. Hak cipta tidak perlu didaftarkan
terlebih dahulu.
Sebagai contoh, Microsoft membuat sebuah perangkat
lunak Windows. Yang berhak untuk membuat salinan dari Windows adalah
hanya Microsoft sendiri.
Kepemilikan hak cipta dapat diserahkan
secara sepenuhnya atau sebagian ke pihak lain. Sebagai contoh Microsoft
menjual produknya ke publik dengan mekanisme lisensi. Artinya Microsoft
memberi hak kepada seseorang yang membeli Windows untuk memakai
perangkat lunak tersebut. Orang tersebut tidak diperkenankan untuk
membuat salinan Windows untuk kemudian dijual kembali, karena hak
tersebut tidak diberikan oleh Microsoft. Walaupun demikian seseorang
tersebut berhak untuk membuat salinan jika salinan tersebut digunakan
untuk keperluan sendiri, misalnya untuk keperluan backup.
Contoh
lain, musisi pop pada umumnya menyerahkan seluruh kepemilikan dari
ciptaannya kepada perusahaan label dengan imbalan-imbalan tertentu.
Misalnya Michael Jackson membuat sebuah album, kemudian menyerahkan hak
cipta secara penuh ke perusahaan label Sony. Setelah itu yang memiliki
hak cipta atas album tersebut bukanlah Michael Jackson tetapi Sony.
Serah terima hak cipta tidak melulu berhubungan dengan pembelian atau
penjualan. Sebagai contoh adalah lisensi GPL yang umum digunakan pada
perangkat lunak OpenSource. GPL memberikan hak kepada orang lain untuk
menggunakan sebuah ciptaan asalkan modifikasi atau produk derivasi dari
ciptaan tersebut memiliki lisensi yang sama.
Kebalikan dari hak
cipta adalah public domain. Ciptaan dalam public domain dapat digunakan
sekehendaknya oleh pihak lain. Sebuah karya adalah public domain jika
pemilik hak ciptanya menghendaki demikian. Selain itu, hak cipta
memiliki waktu kadaluwarsa. Sebuah karya yang memiliki hak cipta akan
memasuki public domain setelah jangka waktu tertentu. Sebagai contoh,
lagu-lagu klasik sebagian besar adalah public domain karena sudah
melewati jangka waktu kadaluwarsa hak cipta.
Lingkup sebuah hak
cipta adalah negara-negara yang menjadi anggota WIPO. Sebuah karya yang
diciptakan di sebuah negara anggota WIPO secara otomatis berlaku di
negara-negara anggota WIPO lainnya. Anggota non WIPO tidak mengakui
hukum hak cipta. Sebagai contoh, di Iran, perangkat lunak Windows legal
untuk didistribusikan ulang oleh siapapun.
Paten (Patent)
Berbeda
dengan hak cipta yang melindungi sebuah karya, paten melindungi sebuah
ide, bukan ekspresi dari ide tersebut. Pada hak cipta, seseorang lain
berhak membuat karya lain yang fungsinya sama asalkan tidak dibuat
berdasarkan karya orang lain yang memiliki hak cipta. Sedangkan pada
paten, seseorang tidak berhak untuk membuat sebuah karya yang cara
bekerjanya sama dengan sebuah ide yang dipatenkan.
Contoh dari paten
misalnya adalah algoritma Pagerank yang dipatenkan oleh Google.
Pagerank dipatenkan pada kantor paten Amerika Serikat. Artinya pihak
lain di Amerika Serikat tidak dapat membuat sebuah karya berdasarkan
algoritma Pagerank, kecuali jika ada perjanjian dengan Google. Sebuah
ide yang dipatenkan haruslah ide yang orisinil dan belum pernah ada ide
yang sama sebelumnya. Jika suatu saat ditemukan bahwa sudah ada yang
menemukan ide tersebut sebelumnya, maka hak paten tersebut dapat
dibatalkan.
Sama seperti hak cipta, kepemilikan paten dapat
ditransfer ke pihak lain, baik sepenuhnya maupun sebagian. Pada industri
perangkat lunak, sangat umum perusahaan besar memiliki portfolio paten
yang berjumlah ratusan, bahkan ribuan. Sebagian besar
perusahaan-perusahaan ini memiliki perjanjian cross-licensing, artinya
“Saya izinkan anda menggunakan paten saya asalkan saya boleh menggunakan
paten anda”. Akibatnya hukum paten pada industri perangkat lunak sangat
merugikan perusahaan-perusahaan kecil yang cenderung tidak memiliki
paten.
Tetapi ada juga perusahaan kecil yang menyalahgunakan hal
ini. Misalnya Eolas yang mematenkan teknologi plug-in pada web browser.
Untuk kasus ini, Microsoft tidak dapat ‘menyerang’ balik Eolas, karena
Eolas sama sekali tidak membutuhkan paten yang dimiliki oleh Microsoft.
Eolas bahkan sama sekali tidak memiliki produk atau layanan,
satu-satunya hal yang dimiliki Eolas hanyalah paten tersebut. Oleh
karena itu, banyak pihak tidak setuju terhadap paten perangkat lunak
karena sangat merugikan industri perangkat lunak.
Sebuah paten
berlaku di sebuah negara. Jika sebuah perusahaan ingin patennya berlaku
di negara lain, maka perusahaan tersebut harus mendaftarkan patennya di
negara lain tersebut. Tidak seperti hak cipta, paten harus didaftarkan
terlebih dahulu sebelum berlaku.
Merk Dagang (Trademark)
Merk
dagang digunakan oleh pebisnis untuk mengidentifikasikan sebuah produk
atau layanan. Merk dagang meliputi nama produk atau layanan, beserta
logo, simbol, gambar yang menyertai produk atau layanan tersebut.
Contoh merk dagang misalnya adalah “Kentucky Fried Chicken”. Yang
disebut merk dagang adalah urut-urutan kata-kata tersebut beserta
variasinya (misalnya “KFC”), dan logo dari produk tersebut. Jika ada
produk lain yang sama atau mirip, misalnya “Ayam Goreng Kentucky”, maka
itu adalah termasuk sebuah pelanggaran merk dagang.
Berbeda dengan
HAKI lainnya, merk dagang dapat digunakan oleh pihak lain selain pemilik
merk dagang tersebut, selama merk dagang tersebut digunakan untuk
mereferensikan layanan atau produk yang bersangkutan. Sebagai contoh,
sebuah artikel yang membahas KFC dapat saja menyebutkan “Kentucky Fried
Chicken” di artikelnya, selama perkataan itu menyebut produk dari KFC
yang sebenarnya.
Merk dagang diberlakukan setelah pertama kali
penggunaan merk dagang tersebut atau setelah registrasi. Merk dagang
berlaku pada negara tempat pertama kali merk dagang tersebut digunakan
atau didaftarkan. Tetapi ada beberapa perjanjian yang memfasilitasi
penggunaan merk dagang di negara lain. Misalnya adalah sistem Madrid.
Sama seperti HAKI lainnya, merk dagang dapat diserahkan kepada pihak
lain, sebagian atau seluruhnya. Contoh yang umum adalah mekanisme
franchise. Pada franchise, salah satu kesepakatan adalah penggunaan nama
merk dagang dari usaha lain yang sudah terlebih dahulu sukses.
Rahasia Dagang (Trade Secret)
Berbeda dari jenis HAKI lainnya, rahasia dagang tidak dipublikasikan ke
publik. Sesuai namanya, rahasia dagang bersifat rahasia. Rahasia dagang
dilindungi selama informasi tersebut tidak ‘dibocorkan’ oleh pemilik
rahasia dagang.
Contoh dari rahasia dagang adalah resep minuman Coca
Cola. Untuk beberapa tahun, hanya Coca Cola yang memiliki informasi
resep tersebut. Perusahaan lain tidak berhak untuk mendapatkan resep
tersebut, misalnya dengan membayar pegawai dari Coca Cola.
Cara yang
legal untuk mendapatkan resep tersebut adalah dengan cara rekayasa
balik (reverse engineering). Sebagai contoh, hal ini dilakukan oleh
kompetitor Coca Cola dengan menganalisis kandungan dari minuman Coca
Cola. Hal ini masih legal dan dibenarkan oleh hukum. Oleh karena itu
saat ini ada minuman yang rasanya mirip dengan Coca Cola, semisal Pepsi
atau RC Cola.
Contoh lainnya adalah kode sumber (source code) dari
Microsoft Windows. Windows memiliki banyak kompetitor yang mencoba
meniru Windows, misalnya proyek Wine yang bertujuan untuk dapat
menjalankan aplikasi Windows pada lingkungan sistem operasi Linux. Pada
suatu saat, kode sumber Windows pernah secara tidak sengaja tersebar ke
Internet. Karena kode sumber Windows adalah sebuah rahasia dagang, maka
proyek Wine tetap tidak diperkenankan untuk melihat atau menggunakan
kode sumber Windows yang bocor tersebut.
Sebagai catatan, kode
sumber Windows termasuk rahasia dagang karena Microsoft memilih untuk
tidak mempublikasikannya. Pada kasus lain, produsen perangkat lunak
memilih untuk mempublikasikan kode sumbernya (misalnya pada perangkat
lunak Opensource).
Pada kasus ini, kode sumber termasuk dalam hak
cipta, bukan rahasia dagang. Service mark Adalah kata, prase, logo,
symbol, warna, suara, bau yang digunakan oleh sebuah bisnis untuk
mengindentifikasi sebuah layanan dan membedakannya dari kompetitornya.
Pada prakteknya legal protection untuk trademark sedang service mark
untuk identitasnya.
B. Sejarah Perundang-undangan HKI Di Indonesia
Peraturan perundangan HaKI di Indonesia dimulai sejak masa penjajahan
Belanda dengan diundangkannya Octrooi Wet No. 136 Staatsblad 1911 No.
313, Industrieel Eigendom Kolonien 1912 dan Auterswet 1912 Staatsblad
1912 No. 600.
Setelah Indonesia merdeka, Menteri Kehakiman RI
mengeluarkan pengumuman No. JS 5/41 tanggal 12 Agustus 1953 dan No. JG
1/2/17 tanggal 29 Agustus 1953 tentang Pendaftaran Sementara Paten.
Pada tahun 1961, Pemerintah RI mengesahkan Undang-undang No. 21 Tahun
1961 tentang Merek. Kemudian pada tahun 1982, Pemerintah juga
mengundangkan Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Di
bidang paten, Pemerintah mengundangkan Undang-undang No. 6 Tahun 1989
tentang Paten yang mulai efektif berlaku tahun 1991. Di tahun 1992,
Pemerintah mengganti Undang-undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek
dengan Undang-undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek.
Sejalan dengan
masuknya Indonesia sebagai anggota WTO/TRIPs dan diratifikasinya
beberapa konvensi internasional di bidang HaKI sebagaimana dijelaskan
dalam jawaban no. 7 di atas, maka Indonesia harus menyelaraskan
peraturan perundang-undangan di bidang HaKI. Untuk itu, pada tahun 1997
Pemerintah merevisi kembali beberapa peraturan perundang-undangan di
bidang HaKI, dengan mengundangkan:
- Undang-undang No. 12 Tahun 1997
tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1982 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta;
- Undang-undang No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten;
- Undang-undang No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek;
Selain ketiga undang-undang tersebut di atas, pada tahun 2000 Pemerintah juga mengundangkan :
- Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
- Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;
- Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Dengan pertimbangan masih perlu dilakukan penyempurnaan terhadap
undang-undang tentang hak cipta, paten, dan merek yang diundangkan tahun
1997, maka ketiga undangundang tersebut telah direvisi kembali pada
tahun 2001. Selanjutnya telah diundangkan:
- Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten; dan
- Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
D. Pengaruh International Covention & International Pressure Terhadap Pembentukan HKI
Pada tahun 1994, Indonesia masuk sebagai anggota WTO (World Trade
Organization) dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement
Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia). Salah satu bagian penting dari
Persetujuan WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights Including Trade In Counterfeit Goods
(TRIPs). Sejalan dengan TRIPs, Pemerintah Indonesia juga telah
meratifikasi konvensi-konvensi Internasional di bidang HaKI, yaitu:
a.
Paris Convention for the protection of Industrial Property and
Convention Establishing the World Intellectual Property Organizations,
dengan Keppres No. 15 Tahun 1997 tentang perubahan Keppres No. 24 Tahun
1979;
b. Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT, dengan Keppres No. 16 Tahun 1997;
c. Trademark Law Treaty (TML) dengan Keppres No. 17 Tahun 1997;
d. Bern Convention.for the Protection of Literary and Artistic Works dengan Keppres No. 18 Tahun 1997;
e. WIPO Copyrights Treaty (WCT) dengan KeppresNo. 19 Tahun 1997;
Memasuki milenium baru, hak kekayaan in telektual menjadi isu yang
sangat penting yang selalu mendapat perhatian baik dalam forum nasional
maupun internasional Dimasukkannya TRIPS dalam paket Persetujuan WTO di
tahun 1994 menandakan dimulainya era baru perkembangan HaKI di seluruh
dunia. Dengan demikian pada saat ini permasalahan HaKI tidak dapat
dilepaskan dari dunia perdagangan dan investasi. Pentingnya HaKI dalam
pembangunan ekonomi dan perdagangan telah memacu dimulainya era baru
pembangunan ekonomi yang berdasar ilmu pengetahuan.
E. Penutup
Betapapun HaKI adalah konsep hukum yang netral. Namun, sebagai pranata,
HaKI juga memiliki misi. Di antaranya, menjamin perlindungan terhadap
kepentingan moral dan ekonomi pemiliknya. Bagi Indonesia, pengembangan
sistem HaKI telah diarahkan untuk menjadi pagar, penuntun dan sekaligus
rambu bagi aktivitas industri dan lalu lintas perdagangan. Dalam skala
ekonomi makro, HaKI dirancang untuk memberi energi dan motivasi kepada
masyarakat untuk lebih mampu menggerakkan seluruh potensi ekonomi yang
dimiliki.
Ketika menghadapi badai krisis ekonomi, HaKI terbukti
dapat menjadi salah satu payung pelindung bagi para tenaga kerja yang
memang benar-benar kreatif dan inovatif. Lebih dari itu, HaKI
sesungguhnya dapat diberdayakan untuk mengurangi kadar ketergantungan
ekonomi pada luar negeri. Bagi Indonesia, menerima globalisasi dan
mengakomodasi konsepsi perlindungan HaKI tidak lantas menihilkan
kepentingan nasional. Keberpihakan pada rakyat, tetap menjadi
justifikasi dalam prinsip-prinsip pengaturan dan rasionalitas
perlindungan berbagai bidang HaKI di tingkat nasional. Namun, semua itu
harus tetap berada pada koridor hukum dan norma-norma internasional.
Dari segi hukum, sesungguhnya landasan keberpihakan pada kepentingan
nasional itu telah tertata dalam berbagai pranata HaKI. Di bidang paten
misalnya, monopoli penguasaan dibatasi hanya seperlima abad. Selewatnya
itu, paten menjadi public domain. Artinya, klaim monopoli dihentikan dan
masyarakat bebas memanfaatkan.
Di bidang merek, HaKI tegas menolak
monopoli pemilikan dan penggunaan merek yang miskin reputasi. Merek
serupa itu bebas digunakan dan didaftarkan orang lain sepanjang untuk
komoditas dagang yang tidak sejenis. HaKI hanya memberi otoritas
monopoli yang lebih ketat pada merek yang sudah menjadi tanda dagang
yang terkenal. Di luar itu, masyarakat bebas menggunakan sepanjang
sesuai dengan aturan. Yang pasti, permintaan pendaftaran merek ditolak
bila didasari iktikad tidak baik.
Banyak pemikiran yang menawarkan
tesis bahwa efektivitas UU ditentukan oleh tiga hal utama. Yaitu,
kualitas perangkat perundang-undangan, tingkat kesiapan aparat penegak
hukum dan derajat pemahaman masyarakat.
Pertama, dari segi kualitas
perundang-undangan. Masalahnya adalah apakah materi muatan UU telah
tersusun secara lengkap dan memadai, serta terstruktur dan mudah
dipahami. Aturan perundang-undangan di bidang HaKI memiliki kendala dari
sudut parameter ini. Hal ini terbukti dari seringnya merevisi perangkat
perundangan yang telah dimiliki. UU Hak Cipta telah tiga kali direvisi.
Demikian pula UU Paten dan UU Merek yang telah disempurnakan lagi
setelah sebelumnya bersama-sama direvisi tahun 1997. Sebagai instrumen
pengaturan yang relatif baru, bongkar pasang UU bukan hal yang tabu.
Setiap kali dilakukan revisi, setiap kali pula tertambah
kekurangan-kekurangan yang dahulu tidak terpikirkan. Dalam banyak hal,
revisi juga sekedar merupakan klarifikasi. Ini yang sering kali
digunakan sebagai solusi atas problema pengaturan yang tidak jelas atau
melahirkan multiinterpretasi.
Kedua, tingkat kesiapan aparat penegak
hukum. Faktor ini melibatkan banyak pihak: polisi, jaksa, hakim, dan
bahkan para pengacara. Seperti sudah sering kali dikeluhkan, sebagian
dari para aktor penegakan hukum tersebut dinilai belum sepenuhnya mampu
mengimplementasikan UU HaKI secara optimal. Dengan menepis berbagai
kemungkinan terjadinya 'penyimpangan', kendala yang dihadapi memang
tidak sepenuhnya berada di pundak mereka. Sistem pendidikan dan
kurikulum di bangku pendidikan tinggi tidak memberikan bekal substansi
yang cukup di bidang HaKI. Karenanya, dapat dipahami bila wajah
penegakan hukum HaKI masih tampak kusut dan acapkali diwarnai berbagai
kontroversi.
Ketiga, derajat pemahaman masyarakat. Sesungguhnya
memang kurang fair menuntut masyarakat memahami sendiri aturan HaKI
tanpa bimbingan yang memadai. Sebagai konsep hukum baru yang padat
dengan teori lintas ilmu, HaKI memiliki kendala klasik untuk dapat
dimengerti dan dipahami. Selain sistem edukasi yang kurang terakomodasi
di jenjang perguruan tinggi, HaKI hanya menjadi wacana yang sangat
terbatas karena kurangnya
Dari paparan di atas tampak bahwa faktor
pemahaman masyarakat dan kesiapan aparat penegak hukum, memiliki
korelasi yang kuat dengan kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan.
Sosialisasi menjadi tingkat prakondisi bagi efektivitas penegakan hukum.
Efektivitas penegakan hukum sungguh sangat dipengaruhi oleh tingkat
pemahaman masyarakat dan kesiapan aparat. Semakin tinggi pemahaman
masyarakat semakin tinggi pula tingkat kesadaran hukumnya. Demikian pula
kondisi aparat. Semakin bulat pemahaman aparat, semakin mantap kinerja
mereka di lapangan. Keduanya merupakan faktor yang menentukan.
Karenanya, sosialisasi merupakan keharusan. Sosialisasi diperlukan
utamanya untuk membangun pemahaman dan menumbuhkan kesadaran masyarakat.
Seiring dengan itu untuk meningkatkan pemahaman dan memantapkan
kemampuan aparat dalam menangani masalah HaKI.
Di antara
bidang-bidang HaKI yang diobservasi, hak cipta, dan merek merupakan
korban paling parah akibat pelanggaran. Terdapat empat kategori karya
cipta yang banyak dibajak hak ekonominya. Data ini direpresentasi oleh
karya program komputer, musik, film dan buku dari AS yang secara
berturut-turut mencatat angka kerugian yang sangat signifikan. Kalkulasi
kerugian berbagai komoditas tersebut telah memaksa AS menghukum
Indonesia dengan menempatkannya ke dalam status priority watchlist dalam
beberapa tahun terakhir ini.
Di bidang merek, pelanggaran tidak
hanya menyangkut merek-merek asing. Selain merek terkenal asing,
termasuk yang telah diproduksi di dalam negeri, merek-merek lokal juga
tak luput dari sasaran peniruan dan pemalsuan. Di antaranya, produk
rokok, tas, sandal dan sepatu, busana, parfum, arloji, alat tulis dan
tinta printer, oli, dan bahkan onderdil mobil. Kasus pemalsuan yang
terakhir ini terungkap lewat operasi penggerebekan terhadap sebuah toko
di Jakarta Barat yang mendapatkan sejumlah besar onderdil Daihatsu
palsu. Pelakunya telah ditindak dan saat ini sedang menjalani
persidangan di PN Jakarta Barat.
Kasus Daihatsu tampaknya belum akan
menjadi kasus terakhir. Prediksi ini muncul karena fenomena pelanggaran
hukum yang masih belum dijerakan oleh sanksi pidana yang dijatuhkan.
Faktor deterrent hukum masih belum mampu unjuk kekuatan. Pengadilan
masih nampak setengah hati memberi sanksi. Padahal, pemalsuan sparepart
bukan saja merugikan konsumen secara ekonomi, tetapi juga dapat
mencelakakan dan mengancam jiwanya. Kesemuanya itu tidak disikapi dengan
penuh atensi. Sebaliknya, dianggap sekedar sebagai perbuatan yang
dikategorikan merugikan orang lain. Sekali lagi, tingkat kesadaran hukum
masyarakat sangat menentukan. Betapapun, datangnya kesadaran itu
acapkali harus dipaksakan melalui putusan pengadilan. Inilah harga yang
harus dibayar untuk dapat mewujudkan penegakan hukum HaKI yang tidak
hanya diperlukan untuk kepentingan pemegang HaKI, tetapi juga bagi
jaminan kepastian, kenyamanan, dan keselamatan masyarakat konsumen
secara keseluruhan.